Latest

Kerusuhan Antiimigrasi Meningkat di Inggris. Inilah Bagaimana Misinformasi Memicu Kekerasan

Postingan keliru di media sosial yang mengidentifikasikan tersangka pembunuh insiden di Southport sebagai seorang imigran muslim telah memicu kekerasan Islamofobia di seluruh dunia, menunjukkan konsekuensi mengerikan dari misinformasi.

'Enough Is Enough' Rally In Sunderland

Far-right activists hold an 'Enough is Enough' protest in Sunderland, England after misinformation circulated online. Credit: Drik/Getty Images

PERINGATAN: Artikel ini berisi tema dan gambar yang mungkin mengganggu sebagian pembaca.

Kerusuhan antiimigrasi menyebabkan kekacauan di seluruh Inggris setelah postingan media sosial secara keliru mengklaim bahwa tersangka serangan penikaman di Southport adalah seorang imigran muslim.

Tiga anak perempuan, berusia 6, 7 dan 9 tahun, tewas di kelas menari bertemakan Taylor Swift di kota Southport, Merseyside, pada tanggal 29 Juli. Delapan anak dan dua orang dewasa juga terluka.

Seorang tersangka berusia 17 tahun ditangkap dan didakwa dengan tiga dakwaan pembunuhan, 10 dakwaan percobaan pembunuhan dan satu dakwaan kepemilikan benda tajam. Karena usianya, identitasnya dirahasiakan.

Namun misinformasi tentang identitas tersangka dengan cepat mulai beredar secara online, menyebutkan namanya sebagai Ali-Al-Shakati dan mengklaim bahwa dia bermigrasi ke Inggris dengan perahu pada tahun 2023.

Pada hari Selasa 30 Juli, anggota komunitas Southport berkumpul untuk peringatan. Namun, menjelang malam, terjadi kerusuhan.

Masjid setempat rusak, dan 53 petugas kepolisian terluka dalam kekerasan tersebut.

Sejak itu, kerusuhan antiimigrasi melanda seluruh negeri, dengan lebih dari 370 orang ditangkap pada akhir pekan.
Pada hari Kamis, perintah anonimitas dicabut sebagai tanggapan atas kerusuhan tersebut, dan tersangka diidentifikasikan sebagai Axel Rudakubana.

Remaja tersebut lahir di Cardiff, dari orang tua berkebangsaan Rwanda, dan bukan beragama Islam.

Kesalahan identifikasi yang terjadi telah melanggengkan "stereotip dan prasangka berbahaya" dan memicu Islamofobia, menurut Direktur Eksekutif Islamophobia Register Australia, Dr Nora Amath.

“Akibatnya, Masjid Southport, serta masjid-masjid lainnya, dirusak dan anggota komunitas muslim diserang dan dianiaya. Komunitas muslim dan multikultural menjadi ketakutan dan terguncang.”
Immigrants, refugees and, in this case, Muslims are once again scapegoated and demonised.
Dr Nora Amath

Siapa yang menyebarkan misinformasi?

Tokoh masyarakat terkemuka telah memicu kerusuhan dengan menyebarkan informasi yang salah secara online yang secara keliru menghubungkan tragedi tersebut dengan imigrasi dan Islam.

Juru kampanye sayap kanan dan salah satu pendiri English Defence League (EDL), Tommy Robinson, mengklaim serangan penikaman itu adalah "bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam adalah isu kesehatan mental, bukannya agama perdamaian."

Dia mendorong hampir 900.000 pengikutnya di platform X untuk bergabung dalam kerusuhan tersebut.

Kepolisian Merseyside mengonfirmasi bahwa anggota EDL termasuk diantara mereka yang melakukan kerusuhan di Southport pada hari Selasa.
Protest In Southport Sparked By Rumours Of Stabbing Suspect's Identity
Riot police hold back protesters after disorder broke out on July 30, 2024 in Southport, England. Credit: Getty Images
Andrew Tate yang memproklamirkan dirinya sebagai "misoginis", yang memiliki 9,8 juta pengikut di X, mengklaim bahwa tersangka adalah "imigran ilegal" yang "tiba dengan perahu".

Pengguna X lainnya yang juga antimigran dan anti-Islam menyebarkan informasi yang salah, termasuk @iamyesyouareno, yang secara keliru mengklaim identitas tersangka sebagai "Ali-Al-Shakati" dan "dia ada dalam daftar pantauan MI6."

"Pemerintah tahu dia berbahaya bagi masyarakat tetapi tidak melakukan apa pun. Gila," tulis mereka.

Pakar misinformasi, Associate Profesor Timothy Graham dari Queensland University of Technology, mengatakan kepada SBS Examines bahwa serangan penikaman dan misinformasi telah memicu respons emosional dari "semua orang di segala spektrum ideologi."

“Permainan saling menyalahkan ini terjadi, orang-orang berusaha memposisikan atau membingkainya sedemikian rupa demi kepentingan mereka sendiri,” ujarnya.

Dia menunjuk politisi Inggris, Nigel Farage, yang mempertanyakan apakah polisi berbohong ketika menggambarkan serangan penikaman itu tidak “berkaitan dengan teror.”
“Mereka mungkin tidak mengetahui sejauh mana yang mereka katakan itu dan bagaimana hal itu direspons di dunia online,” kata A/Prof Graham.

Dia mengatakan postingan ini mungkin memunculkan “bahasa kode” yang bekerja sebagai “peluit anjing” – sebuah pesan halus yang dimaksudkan untuk dipahami oleh kelompok tertentu.

“Hal ini mengirimkan semua sinyal yang menggerakkan kelompok masyarakat tertentu yang sudah siap menyiapkan segala sesuatunya, dan sudah sangat memperhatikan isu-isu tertentu.”

Meskipun informasi yang salah menjadi faktor utama dalam kerusuhan tersebut, A/Prof Graham mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah satu-satunya faktor yang berkontribusi.

“Sayangnya ini merupakan kasus klasik terjadinya badai yang sempurna,” ujarnya.

“Masyarakat kecewa dengan apa yang terjadi di dunia, terdapat kesenjangan struktural yang ekstrim dimana hanya sebagian kecil orang yang memiliki kekayaan yang sangat besar dan banyak orang yang berjuang dengan beban biaya hidup, dan terdapat banyak ketidakpercayaan politik di Inggris. "
Protest In Southport Sparked By Rumours Of Stabbing Suspect's Identity
Riot police hold back protesters after disorder broke out on July 30, 2024 in Southport, England. Credit: Getty Images

Dampaknya bagi komunitas muslim

Meskipun Perdana Menteri Keir Starmer mengecam keras kerusuhan tersebut, dia belum menyebut kerusuhan tersebut sebagai insiden Islamofobia.

Pada hari Jumat, para pemimpin agama dari agama Islam, Kristen, dan Yahudi berkumpul di luar masjid Southport untuk membaca pernyataan bersama.
Southport incident
Southport Islamic Centre Mosque chairman Imam Sheik Ibrahim Hussein addressed rioting in the community. Credit: James Speakman/PA
Pernyataan tersebut menyatakan bahwa “meningkatnya tingkat Islamofobia tidak boleh dibiarkan berkembang di masyarakat kita.”

“Ada beberapa orang yang memilih untuk menggunakan momen kesedihan kolektif ini untuk menabur benih perpecahan, menyebarkan Islamofobia dan menyerang masjid di sini di Southport,” baca Qari Asim, ketua Dewan Penasihat Nasional Masjid dan Imam.

“Kita berdiri di sini hari ini, bersatu dalam kesedihan kami dan dengan tegas mengecam para oportunis yang tanpa malu-malu berusaha melemahkan dan memecah belah komunitas kita.”
People demonstrate to defend Liverpool mosque from the threat of far-right attacks
Anti-racism protesters make heart signs during a demonstration at the Abdullah Quilliam Mosque in Liverpool. Source: EPA / Adam Vaughan/EPA
Konsekuensi dari misinformasi ini juga dirasakan di Australia.

“Sayangnya, insiden-insiden ini mempunyai dampak global yang besar, terutama terhadap perempuan muslim yang teridentifikasi,” kata Dr Amath.

“Peristiwa seperti itu dapat meningkatkan ketakutan, kecemasan, dan kerentanan, karena mereka dapat menjadi sasaran ujaran kebencian, diskriminasi, atau bahkan kekerasan fisik.”

Dia mengatakan banyak perempuan muslim yang takut tampil di depan umum.

"Mereka berjaga-jaga kalau-kalau mereka harus 'mengatasinya'."
It's unfortunately a classic case of a perfect storm brewing.
Associate Professor Timothy Graham
Dr Amath berharap hal ini menjadi pengingat akan "pentingnya wacana politik dan media yang akurat dan bertanggung jawab."

“Kerusuhan dengan kekerasan yang kita saksikan di Inggris tidak terjadi begitu saja,” katanya.

“Sayangnya, kita telah melihat konsekuensi yang sangat besar dan brutal dari misinformasi tersebut.”
Dengarkan  setiap hari Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu jam 3 sore.
Ikuti kami di  dan , serta jangan lewatkan kami.

Share
Published 15 August 2024 6:08pm
Updated 15 August 2024 6:12pm
By Rachael Knowles
Presented by SBS Indonesian
Source: SBS


Share this with family and friends